Pada hari libur yang indah kita
pergi ke laut. Sayangnya mata kita buta untuk melihat laut. Bagi kita laut
hanyalah tempat untuk menikmati deburan ombak dan pasir yang lengket. Karena
kita melihat laut hanya sebagai air, pasir, angin dan deburan ombak.
Pada hari minggu yang lowong kita
memanjakan mata pergi ke taman. Sayangnya mata kita buta untuk melihat taman. Bagi
kita taman hanyalah tempat yang indah dan menyegarkan. Karena kita melihat
taman hanya sebagai pohon, kumpulan bunga dan hamparan rumput.
Pada satu waktu dalam hidup, kita
menantang adrenalin menanjak ke puncak gunung. Sayangnya mata kita buta untuk melihat
gunung. Bagi kita gunung hanyalah tempat yang tinggi dan berbatu. Karena kita
melihat gunung hanya sebagai bebatuan untuk didaki.
Sahabatku… Selama kita melihat
dunia sebagai materi, maka selama itu pula lah kita mengakui kebutaan diri kita.
Kenapa? Karena dalam dunia yang penuh materi ini, materi fisik hanyalah kumpulan
atom-atom tak terlihat. Sementara atom-atom hanyalah 0,000001% non fisik dan
99,99999% energy yang bervibrasi.
Jadi sebenarnya manusia memang
terlahir buta dalam level yang lebih dalam. Kita tidak bisa melihat energy. Energy
bervibrasi adalah materi tidak terlihat oleh mata telanjang manusia. Padahal wujud
segala materi yang kita lihat dalam dunia ini hanyalah hasil dari energy yang bervibrasi.
Tidak lebih dan tidak kurang. Bukankah kalau begitu, kita memang terlahir buta dan
parahnya sekarang kita buta dalam kebutaan kita.
Buta dalam kebutaan artinya kita melihat
kehidupan tapi tidak mampu melihat kehidupan sebagai penciptaan. Melainkan kita
melihat kehidupan hanya sebagai hiburan. Kita melihat kehidupan hanya sebagai
arena kompetisi. Kita melihat kehidupan hanya sebagai penilaian-penilaian
kebutaan kita.
Sahabatku… Renungkanlah… Kalaulah
kita tidak mampu melihat kehidupaan sebagai penciptaan, lalu bagaimana bisa
kita merasakan kehidupan itu sebagai jati diri kita? Siapakah kita? Siapakah
orang-orang yang kita cintai? Apakah itu laut, taman dan gunung yang telah kita
kunjungi? Apa itu pengalama-pengalaman hidup yang telah kita jalani? Bukankah kita
berkata kalau itu semua adalah dunia kita hidup? Tapi SIAPA yang membuat kita
mampu melihat itu semua dalam kebutaan kita? Bukankah dalam kebutaan Kita masih
mampu melihat laut hanya sebagai laut. Kita melihat taman sebagai taman. Kita melihat
gunung sebagai gunung. Kita melihat orang-orang yang kita cintai. Kita melihat diri
kita sebagai diri kita. Kita melihat segala pengalaman sebagai pencapaian kita.
Sahabatku… Penghirauan kita untuk
mentadaburkan “SIAPA” yang membuat kita mampu melihat inilah yang membuat kita
buta dalam kebutaan. Kita buta dalam kebutaan karena kita mengaku hidup, tapi
tidak mampu melihat kehidupan sebagai penciptaan. Kalaulah melihat saja tidak
apalagi mentadaburkan. Betulah sudah seorang bijak yang pernah berkata “mata tidak berguna kalau pikiran buta”.
Jadi kalau lah selama ini kita
buta dalam kebutaan kita. Lalu bagian mana lagi setelah ini yang akan kita biarkan
masuk untuk semakin membutakan kita lagi? Tidak sahabatku… Cukup sampai disini!
Cukup sampai disini kita membiarkan diri buta dalam kebutaannya. Mulai sekarang
kita tidak akan membiarkan pikiran kita buta untuk mentadaburkan. Mulai sekarang
kita akan belajar mentadaburkan segala yang diperlihatkan dengan kenetralan. Sampai
kita mampu melihat hidup sebagai ciptaan SANG PENCIPTA PENGHIDUP dan bukan
sekedar materialitas belaka.
Salam Semesta
Copyright © www.PesanSemesta.com