Apakah benar pikiran
BERBICARA DENGAN BAHASA YANG berbeda dengan otak? LALU BAGAIMANA OTAK DAN
PIKIRAN SALING MENGERTI? Pertanyaan unik yang mungkin belum tercermati oleh
kita
Hari
ini saat melamun diteras meja, tiba-tiba pandangan
Anda terfokus untuk melihat seorang anak kecil yang sedang turun dari sepedanya
sambil menggengam kincir angin berwarna-warni. Mata Anda terus mengamati kincir
angin itu sampai Anda teringat dengan seorang ibu-ibu yang menabrak Anda
dipasar dua tahun lalu. Ibu itu menggunakan bros bunga dengan warna senada,
persis seperti warna kincir angin itu. Tiba-tiba muncul perasaan kesal karena
mengingat betapa repotnya kejadian itu dahulu. Karena kejadian itu betapa sambil
menahan malu, Anda pun terpaksa harus memunguti satu persatu jeruk yang sudah
Anda beli itu sambil menahan sakit di siku tangan kiri Anda.
Tapi tiba-tiba
saja Anda tersenyum dan merasa bersyukur, karena gara-gara kejadian itu Anda
bertemu kekasih Anda sekarang. Dialah dewa penyelamat yang ikut membantu Anda
memunguti jeruk-jeruk itu dan dengan lembutnya memapah Anda bangun. Anda mulai
menyadari ternyata kalau diingat-ingat kejadian itu sangat romantis. Perasaan Anda
mendadak teralihkan dari suasana kelam menjadi suasana damai, Anda pun kembali meneguk
secangkir teh hangat yang sedari tadi Anda pegang sambil tersenyum-senyum,
membuka hp untuk langsung menelepon kekasih yang tiba-tiba Anda kangeni itu.
Sahabatku.... Cerita diatas adalah bagaimana
bahasa pikiran manusia selama ini bekerja. Tapi apakah otak manusia juga bekerja
dengan cara yang sama dengan bahasa pikiran? – mari kita cari jawabannya.
Kalau menurut versi
otak cerita diatas kurang lebih seperti ini :
“Serangkaian foton mendarat di
retina Anda, menarik saraf optik sehingga membawa sinyal listrik ke tubuh
geniculate lateral Anda dan kemudian ke korteks visual utama Anda, dimana
sinyal melaju ke korteks striate Anda untuk menentukan warna dan orientasi
gambar, serta korteks prefrontal dan korteks inferotemporal Anda untuk
pengenalan objek dan pengambilan memori — membuat Anda mengenali ibu-ibu yang
menabrak Anda dipasar. Lalu berkat itu hippocampus bekerja aktif untuk mencari
file memori jangka panjang yang tersimpan didalam kartu memori Anda. Lalu
kembali menvisualisasikan adegan kejadian dua tahun lalu.
Ternyata otak Anda
menyimpan ini sebagai file trauma,
sebagai sebuah respon emosional di otak terhadap kejadian buruk yang pernah
terjadi di masa lalu. Amygdala di otak Anda langsung memutar kembali file
emosi-emosi yang berhubungan dengan trauma itu.
Akhirnya Anda sukses mengingat emosi yang berhubungan dengan kejadian
dua tahun lalu itu dengan sangat jelas. Uniknya berkat kejadian itu, Anda bukan
hanya meng-input (nilai) negatif di otak. Namun juga meng-input (nilai) positif.
Berkat kecerdasan amigdala menyimpan inputan emosi itulah, tubuh Anda bisa
membedakan mana yang membuat Anda tiba-tiba kesal dan mana yang membuat Anda
tiba-tiba bersyukur. Karena Anda memusatkan perhatian pada hal-hal yang
disyukuri, maka memaksa perubahan jasad ke fase yang lebih positif. Karena
tindakan sederhana ini jasad Anda merangsang lebih banyak neurotransmiter di
otak, khususnya dopamin dan serotonin, yang meningkatkan perasaan puas, bahagia
dan cinta. Dan untuk mengungkapkan segala rasa itu Anda mencoba menghubungi
kekasih Anda dengan meneleponnya.”
Sahabatku... Diatas adalah
bahasa otak manusia saat mengelola cerita yang sama, meski tidak 100%
dituliskan dengan bahasa otak. Tapi minimal dari sini kita bisa melihat, bahwa
memang otak bekerja dengan sistematis dan logis, sangat jauh berbeda dengan
pikiran kita sendiri. Jadi sebenarnya kita tidak akan menemukan pikiran kita
didalam otak.
Betul memang kita mengolah pikiran dengan otak, tapi otak tidak
menghasilkan pikiran. Otak membantu kita untuk mengelola pikiran bukan
membuatnya. Pikiran umumnya identik dengan pemikiran, perasaan, ingatan, dan
kepercayaan kita, dan sebagai sumber perilaku kita. Pikiran tidak terbuat dari
bahan dasar selain kesadaran kita sendiri, dia tidak berbentuk fisik, tetapi
kita menganggapnya cukup nyata, atau bahkan seperti diri kita sendiri.
Sementara otak adalah
fisik, apabila dikeluarkan dari jasad, kita bisa menyentuh otak dan
merasakannya seperti jaringan bertekstur lembut seperti tahu. Otak berperan sebagai
sumber fisik semua yang kita sebut pikiran. Jika kita memiliki pemikiran atau
mengalami emosi, itu karena otak kita telah melakukan sesuatu. Khususnya
mengirim sinyal-sinyal listrik berderak sepanjang sejumlah neuron, lalu
neuron-neuron itu melepaskan butiran-butiran neurokimia akhirnya kita bisa
berkata kalau pikiran kita membuat sensasi yang sangat nyata.
Lucunya, meski kita
tidak memiliki akses untuk masuk kedalam otak, dan mengatur seluruh
koneksi-koneksi neuron yang super rumit itu. Namun kita memiliki akses ke
pikiran kita. Kita dapat mengenali dan menggambarkan apa yang kita ketahui,
ingat, dan pikirkan. Jadi meski kita buta sama sekali dengan bahasa otak dan
sama sekali tidak tahu bagian-bagian nya seperti, mana itu hippocampus, atau
frontal, atau cingulate anterior yang aktif selama kita berpikir. Tapi semuanya
seakan mengerti, meski semuanya berbicara dengan dua bahasa yang berbeda.
Berarti memang ada kekuatan lain yang menghubungkan antara bahasa pikiran
manusia dengan bahasa otak, sehingga keduanya masih terus dapat
bersinergi.
Kekuatan lain itu
adalah software sistem operasi manusia (jiwa) yang dibuat oleh SANG PEMBUAT
untuk mengatur, menghubungkan dan mensinkronisasikan segalanya agar kesadaran
manusia berjalan normal. Kita tidak membuat jiwa, karena kita adalah jiwa itu
sendiri.
Jiwa dalam kesadarannya membuat pikiran dan perasaan, lalu
mentranslate bahasa pikiran manusia agar dimengerti oleh otak. Sehingga saat
pikiran Anda memikirkan kebahagiaan, maka otak langsung mengatur pasukan
hormon-hormon agar jasad Anda merasakan kebahagiaan bukan kesedihan.
Begitu
juga kalau jasad Anda kekurangan energy, maka otak akan menyampaikan sinyal yang kita baca
sebagai lapar, bukan kenyang. Beruntungnya kita karena sampai detik ini
tidak pernah ada salah translate, pikiran sedih tetap masih memunculkan rasa
sedih – pikiran senang tetap masih memunculkan rasa senang. Saat memegang es
kita masih kedinginan dan bukan kepanasan. Dan saat memegang panas kita masih
merasakan panas bukan dingin. Beruntungnya kita SANG PEMBUAT masih mengatur
jiwa kita dengan sangat teraturnya.
Sahabatku… Bukankah
ini adalah hal yang patut kita syukuri?
Kita bersyukur, karena otak kita masih
bekerja sesuai dengan pikiran kita. Dan kita bersyukur karena pikiran kita
masih bekerja sesuai dengan otak kita. Tidak pernah ada kesalahan translate,
meski kedua bekerja dengan dua bahasa yang berbeda. Tidak ada kerumitan yang
terjadi, meski kita sama sekali tidak mengerti bahasa otak kita sendiri.
Keteraturan
yang bahkan para peneliti pun masih bingung bagaimana sebenarnya keterhubungan
ini mampu berlangsung. Ibaratkan Anda memiliki pasangan yang setiap hari
berbicara dengan bahasa Spayol sementara Anda berbahasa Jerman. Meski Anda dan
pasangan tidak saling mengerti bahasa masing-masing. Tapi Anda berdua dapat
hidup rukun, sejahtera dalam kedamaian. Sebuah keajaiban tentunya bukan? Mari
kita syukuri keajaiban ini sahabatku…
Lalu dengan apa kita
ungkapkan rasa syukur ini?
Mulai sekarang
berpikirlah dengan baik, tentang hal baik, dan untuk hal yang baik pula.
Artinya, bicaralah dengan bahasa kebaikan kepada otak kita. Pikiran adalah
energi yang bergetar dalam frekuensi. Setiap frekuensi hanya akan menarik
frekuensi yang sama. Frekuensi kebaikan
hanya akan menarik frekuensi kebaikan. Begitu juga dengan kebaikan pikiran kita
yang akan menarik kebaikan otak kita. Akhirnya pikiran dan otak kita hanya
bekerja dalam kebaikan. Sama baiknya dengan SANG MAHA BAIK yang masih terus
mencurahkan kebaikannya untuk kita.
Sahabatku… Berbeda
bahasa adalah hal yang biasa, selama bahasa itu kita bawa dalam kebaikan, maka
hanya kebaikan pula lah yang akan kita tarik dari perbedaan berbahasa kita. Karena
hanya dengan beginilah kita mengungkapkan rasa syukur kita akan anugerah keajaiban
pikiran dan otak yang telah kita terima dalam hidup ini.
“There are only two ways to live your life. One is as though nothing is
a miracle. The other is as though everything is a miracle.” ― Albert
Einstein
Salam Semesta.
Copyright © www.pesansemesta.com