Ada begitu banyak pengertian
tentang manusia, dari mulai manusia adalah mamalia, manusia adalah makhluk
sosial, manusia adalah makhluk ciptaan, manusia adalah organisme bersel banyak,
dan lain-lainya.
Tapi pengertian-pengertian itu menjadi bias apabila kita
bertanya ulang kedalam diri sendiri, tentang :
“Siapa saya?”
“Siapa saya yang berpikir?”
“Siapa saya yang hidup, bernafas,
dan yang sadar telah mengalami kehidupan?”
“Siapa ‘kita’ yang sekarang
sedang membaca paragraf ini?”
Jelas kita menyadari dengan betul
kalau kita ini adalah manusia. Tapi saat kita bertanya tentang “siapa saya?”
bagian terdalam kita seakan mencari jawaban yang lebih dari sekedar
pengertian-pengertian tekstual seperti diatas.
Meski pengertian-pengertian yang
beredar sangat masuk akal dan sama sekali tidak salah. Tapi kalau mau jujur,
sebenarnya kita menginginkan jawaban yang lebih. Kenapa? Karena bagaimanapun
definisinya, manusia akan lebih nyaman kalau dirinya disebut sebagai sebuah
masterpiece, wujud karya cipta kebaikan SANG PENCIPTA.
“Manusia harus mengenal dirinya
sebagai Maha karya terindah kebaikan SANG PENCIPTA”
Sebagai maha karya terindah yang
dibuat dari kebaikanNYA, pastinya manusia membawa kebaikan-kebaikanNYA didalam
dirinya. Tinggal bagaimana sekarang sebagai manusia kita menemukan
kebaikan-kebaikan, dan melepaskan kebaikan-kebaikan itu dengan melakukan banyak
kebaikan-kebaikan juga, bagi dan sebagai semesta. Inilah yang akan kita lakukan
sekarang, kita masuk ke dalam diri, untuk mengenal diri dan untuk menemukan
kebaikan-kebaikanNYA.
Kebaikan itu sifatnya momentum.
Jadi kebaikan itu sangat relatif tergantung dengan jawaban ‘siapa saya?’.
Tentunya untuk menjawab ini aksi paling mendasar adalah dengan mengenal diri.
Seorang Socrates dalam hidupnya
pernah berkata “Manusia hendaknya mengenal diri dengan dirinya sendiri, jangan
membahas yang diluar diri, hanya kembalilah kepada diri. Manusia selama ini
mencari pengetahuan di luar diri. Kadang – kadang dicarinya pengetahuan itu di
dalam bumi, kadang – kadang diatas langit, kadang – kadang di dalam air, kadang
– kadang di udara. Alangkah baiknya kalau kita mencari pengetahuan itu pada
diri sendiri. Dia memang tidak mengetahui dirinya, maka seharusnya dirinya
itulah yang lebih dahulu dipelajarinya, nanti kalau dia telah selesai dari
mempelajari dirinya, barulah dia berkisar mempelajari yang lain. Dan dia tidak
akan selesai selama – lamanya dari mempelajari dirinya. Karena pada dirinya itu
akan didapatnya segala sesuatu, dalam dirinya itu tersimpul alam yang luas ini.”
Pemikiran Socrates menunjukan
bahwa mengenal diri dapat dilihat dari berbagai perspektif. Dimulai dari
mengenal komponen dasar manusia, mengenal akal dan hati, mengenal ego diri,
mengenal keterhubungan diri dengan semesta, mengenal pembuat dan pencipta diri.
Sampai nanti memahami dengan penuh penyaksian kalau memang diri ini hanyalah
SANG PENCIPTA dan diri ini hanyalah bagian dari kesadaran yang dibuat.
Ini berarti mengenal diri
merupakan sebuah perjalanan untuk menyelami diri sampai mengetahui diri pada hakikat
yang sebenarnya. Dengan apa kita mengali diri?Jawabannya: Kenalilah dirimu
dengan dirimu sendiri.
Sahabatku….
Kita tidak akan menemukan
pengertian manusia dari luar diri kita, melainkan dari dalam diri kita sendiri.
Kita sendirilah yang akan mendefinisikan pengertian tentang siapa ‘kita’
sebenarnya.
Setiap kita pasti akan memegang
definisinya masing-masing, dan itu bukan hal yang keliru, karena begitulah diri
kita yang sebenarnya sebagai wujud manusia. Tentunya ada rahasia besar dari
mengenal diri. Kekaguman kita dalam mengenal yang di luar diri bukanlah hal
yang buruk. Tapi kalau diri kita menjauh dari diri sendiri, maka pahamilah kita
hanya menjauh dari kehidupan.
Kehidupan dimulai dari diri kita,
lalu kita membawa kehidupan kita kemanapun kita pergi dan berada. Diri kita
adalah awal kehidupan dan akhir kehidupan. Seberapa jauh kita mengarungi hidup,
tetap kehidupan kita lah yang kita bawa. Buktinya apapun yang terlintas di
depan mata, hanya bisa dilihat dari dalam mata kita, bukan melalui mata orang
lain.
Realita selalu tentang apa yang
kita alami, bukan apa yang dialami orang lain. Sama halnya dengan bulan, bagi
mereka yang berada di atas gunung bulan itu dekat, tapi kalau bagi kita yang
berada di pinggiran bulan itu sangat jauh. Menandakan kehidupan bukan apa yang
di luar, melainkan apa yang di dalam.
Masalahnya sekarang kita malah
berlari menjauh. Kita selalu mengagumi yang di luar sampai melupakan yang di
dalam. Kita mengejar penilaian orang lain, kita mengejar impian orang lain,
kita memahami pemahaman orang lain.
Tapi di waktu yang bersamaan kita lalai untuk mengagumi diri,
kita lalai dengan nilai diri, kita lalai dengan tugas diri, dan kita juga lalai
untuk memahami diri. Sadarkah kita akan kekeliruan yang nyata ini ?
Saat kita berbicara kita menyakini betul bahwa itu diri kita, padahal itu belum tentu. Belum tentu diri kita yang sekarang adalah diri kita yang seharusnya bergerak sesuai dengan penciptaannya.
Kita ini adalah bentukan dari
orang tua dan lingkungan. Kita ini terlalu takut untuk menjadi diri sendiri dan
melampaui batasnya. Kita ini terlalu malu untuk mengenal dan menjadi diri
sendiri sesuai dengan apa yang dibuat oleh SANG PEMBUAT.
Padahal bagaimana kita mengelola
yang diri dari dalam selalu akan menjadi modal utama kita dalam mengelola yang
di luar. Apa yang berlangsung di dalam hidup manusia tidak lain hanya terbentuk
dari dalam dirinya sendiri.
Karena meski secara biologis,
manusia diklasifikasikan sebagai Homo sapiens. Bahasa Latin yang memiliki arti
sebagai “manusia yang tahu". Dimana kita dikatakan sebagai sebuah spesies
primata dari golongan mamalia yang dilengkapi otak berkemampuan tinggi.
Tapi otak hanyalah organ yang
hanya akan berfungsi kalau digunakan? Bagaimana kalau tidak digunakan,
mungkinkah manusia menjadi manusia yang tahu? – pertanyaan kikuk lain, yang
mana artinya kapan kita benar-benar tidak mengingkari akal? Kapan terakhir kali
kita hanya mendengar yang wajib kita dengar? Kapan kita hanya mengikuti
pelajaran yang wajib kita pelajari?
Faktanya selama ini kita hanya
mendengar yang kita takuti bukan yang wajib kita dengar. Mempelajari yang umum
dipelajari bukan yang wajib dipelajari diri. Kita biarkan akal kita diisi dan
dipenuhi oleh yang bahkan diingkari oleh akalnya sendiri. Sadis memang. Selama
ini kita memang telah sadis dengan diri kita sendiri.
Sahabatku…
Artikel pendek ini tidak akan
pernah cukup untuk menjawab ‘siapa saya?’. Semoga melalui buku yang sedang kami
persiapkan mampu mengajak kita semua untuk mengenal diri. Percayalah, dengan
mengenal diri, kita tidak akan mendapati hal apa-apa selain manfaat yang
teramat banyak. Jujur ini bukan spoiler atau strategi marketing, ini adalah
jawaban sinkronitas dari diri yang bertanya ‘siapa saya?’ frekuensi yang
menarik frekuensi.
Akhir kata teruslah membuat
pertanyaan besar karena tiap jawabannya itu selalu hadir jauh sebelum
pertanyaan itu dibuat. Jawaban hanya sedang menunggu ter-unlock saja. Diri yang
tidak mengingkari akalnya lah kuncinya.
Salam semesta
Copyright © www.PesanSemesta.com