Hari ini hujan bergerimntik
ringan diatas jiwa yang kosong. Gemerintikannya seakan melayang dan mengambang
di dasar jiwa terdalam. Meski jiwa ini merintih dalam kerinduan yang dalam,
namun kesadaran ini seperti menjauh dalam ketuliannya.
Sahabatku… Betapa sering kita menjadi
tuli untuk diri kita sendiri? Kita tidak mendengar desahan jiwa kita yang terus
menerus merintihkan kerinduan. Kerinduan jiwa yang merindu untuk menyaksikan
pemiliknya. Dzat Maha Pemilik dan Pengikat Jiwa-jiwa.
Sahabatku… Padahal apabila kita
mau mendengar jiwa ini, maka kita akan paham kalau ternyata kita begitu dekat
tapi berlagak menjauhiNYA, betapa kita bersama tapi terus memberi jarak
denganNYA, betapa kita saling melihat tapi tidak mau menatapNYA.
Salahnya ini terjadi saat kita dengan
sengaja mengakui telah menyaksikanNYA sebagai Tuhan Semesta Alam. Kita mengakui
telah beribadah atas namaNYA sebagai Tuhan Semesta Alam. Kita mengakui hanya
DIA-lah satu-satunya Tuhan Semesta Alam tempat kembali, namun kesadaran kita
berlagak sebaliknya dari ini semua.
Apa yang salah dengan kesadaran yang
berlagak sebaliknya ini sahabatku…?
Apa yang membuat kesadaran ini
begitu tuli untuk mendengar rintihan jiwa yang jujur… ?
Apa yang membuat gemerintikan
iman hanya mengambang namun tidak mampu memblending menjadi kesadaran untuk
mendekatiNYA, untuk membersamaiNYA, untuk melihatNYA?
Sahabatku…
Jelas kita butuh lebih dari
sekedar label agama untuk sampai pada tahap ini. Kita butuh memahami agama yang
telah kita pilih. Agama adalah jembatan yang dibuat tapi kadang kita terjebak
ditengah-tengah agama kita sendiri, sampai akhirnya kesadaran kita menjadi
begitu tuli untuk mendengar jiwa kita yang berbisik “Hai jalan berhentimu bukan disini.. teruslah melangkah..jembatan ini
tidak akan menyampaikan dirimu ke tempat tujuan kalau kau berhenti disini. Kenapa
kau berhenti disini?”
Sahabatku… Anggap tempat tujuan
kita dalam agama adalah untuk hidup sambil mendekatiNYA, membersamaiNYA, melihatNYA.
Tentunya kita penasaran ingin tahu alasan kenapa sekarang kita malah berhenti untuk
tidak pernah sampai kepada tempat tujuan?
PERTAMA: Kita hanya menjadikan
agama sebagai cap keturunan dan tidak pernah memahami agama kita sendiri untuk
sampai ke sebuah tujuan. Kita seperti sengaja menyebrangi jembatan hanya untuk
melaju dalam kerumunan ramai rombongan yang bahkan tidak mengerti kenapa berada
didalam jembatan itu kecuali karena mereka sedang menarik benang yang sama
dengan benang yang ditarik oleh manusia yang didepannya.
Sahabatku… Begitu banyak
jembatan, namun semuanya diisi oleh kerumunan yang ikut-ikutan. Kerumunan yang
akhirnya hanya memahami agama bukan sebagai sebuah jembatan, namun sebagai
tempat berhenti untuk berkumpul dalam gerombolan yang tidak mengerti tempat tujuan.
Mohon jangan tersinggung,
siapapun yang membaca ini mohon jangan tersinggung. Tulisan ini adalah
kenyataan bagi yang mau mengakui dirinya dalam kejujuran yang bersih. Bersih dari
rasa malu bahwa benar memang agama adalah proses keturunan yang diwajibkan,
akhirnya makna dari agama tidak terpahami dengan benar, dan betul iya semua
kenyataan ini menjadikan kita terlalu percaya diri dalam ketulian.
Sehingga betul memang kita sulit
melihat akhir dari jembatan agama ini. Kalau tulisan ini menyinggung kami mohon
maaf yang sebesar-besarnya, dan mohon jangan lanjut membaca alasan kedua
dibawah ini, karena akan lebih menyinggung.
KEDUA: Kalaupun agama telah
berhasil terpahami, kita hanya menjadikan pemahaman agama sebagai bahan
penilaian dan tidak pernah mengambil nilai karenaNYA.
Sesaat kita terjebak didalam
kerumunan yang bingung akhirnya kita mulai mencari-cari nilai kebaikan
didalamnya, dan begitulah manusia. Kita sebagai manusia Bumi begitu sangat suka
dengan dua hal, yaitu menilai yang diluar dan dinilai yang diluar. Akhirnya agama
pun bertransformasi untuk menjadi dua hal yang disukai ini.
Berbondong-bondong kita memborong
penilaian. Kita menunjuk-nunjuk nilai pahala dan menjadi gila untuk
mengumpulkannya dan mengagumi nilai-nilai itu sebagai polesan iman. Tapi akhirnya
kita memang terjebak sendiri. Sadarkah kita dengan jebakan pahala?
Izinkan kami sedikit membukanya,
jebakannya adalah saat polesan iman kita begitu tebal tapi yang terserap oleh kesadaran
jiwa kita sangat-sangat sedikit. Akhirnya?
Akhirnya rasa mendekatiNYA,
membersamaiNYA apalagi melihatNYA tidak pernah sampai. Tujuan kita musnah,
padahal hanya ini tujuan dari segala rasa iman. Tanpa tiga rasa ini, bagaimana
bisa dikatakan iman? Agama datang untuk menjadikan kita orang-orang yang
beriman, namun bahkan rasa iman pun masih jauh dari terasa.
Itu hanya karena kita hanya sibuk
menjadikan agama sebagai sebuah polesan untuk memoles nilai untuk nilai bukan
untuk sebuah tujuan.
Sahabatku… Bukankah alasan ini
lebih menyinggung dari pada alasan yang pertama?
Karenanya kami mohon maaf apabila
tulisan ini sampai terbaca oleh kita semua. Kami hanya menyampaikan yang perlu
disampaikan sebagai semesta. Karena sudah saatnya membenahi pemaknaan kita akan
agama yang kita kerumuni agar ajaran agama yang sudah terlanjut dipilih ini
berhasil membawa kita kepada tujuan iman yang sempurna, bukan iman polesan.
Sebenarnya agama tidak dibentuk untuk
membentuk iman polesan namun iman yang jernih. Ini hanya salah kita saja yang
tidak mampu memahaminya dengan baik dan benar. Kesalahan tafsir yang terlalu
mengedapkan keuntungan dan kekabutan ego.
Sahabatku… Kesadaran bisa
memanipulasi. Iman bisa memoles kebohongan dalam kentalnya penilaian… Namun jiwa
tidak bisa berbohong.
Gemerintikan hujan masih jatuh,
dan dentuman jiwa yang merindu ini masih kerasa mendentum dalam keheningan
pengakuan yang pasrah.
Pasrah untuk sekedar mendekatiNYA,
untuk membersamaiNYA, untuk melihatNYA. Namun tahukah sahabatku… Kalau Dzat
Maha Lembut berbisik indah ditiap gemerintikan hujan yang mendawai ini, Dzat
Maha Berbisik “Bangunlah dan janganlah pasrah. AKU bersamaMU selalu dalam rasa
yang kau bangun”
Rasa yang dibangun? Hmm… kami
akan simpan ini untuk pembahasan yang selanjutnya.
Salam semesta
Copyright © www.PesanSemesta.com