“Ya sudah syukuri saja…”
Sahabatku… Kalimat diatas tidak
terlalu asing bukan? Mungkin kita pernah mendengarnya atau mengucapkannya.
Biasanya kalimat itu diucapkan justru saat kita kecewa karena hasilnya tidak
sesuai ekspektasi atau mungkin jauh dari yang ingin diraih. Akhirnya kita
menghibur diri dengan berucap “Ya sudah syukuri saja…”
Sebenarnya kita tidak mau
mengakui ini, karena kita ingin menjadi orang-orang yang senantiasa bersyukur. Hanya
saja memang sebuah tantangan sendiri untuk bersyukur ditengah rasa kecewa.
Jujur saja kita sebenarnya ingin
menjadi orang-orang yang bersyukur. Tapi lagi-lagi apa itu bersyukur kalau
rasanya hambar dan hanya bertepuk sebelah tangan. Adakah solusi untuk ini?
Sahabatku… Satu-satunya hal yang
mampu merubah ini adalah pengetahuan kita tentang arti bersyukur itu sendiri. Sebagian
kita masih memegang tradisi kalau bersyukur adalah ucapan terimakasih kita
kepada Dzat Maha. Namun sebenarnya ini tidak terlalu pas.
Bersyukur yang pas adalah
menikmati. Dengan menikmati segala kondisi, apapun rasanya, maka itu adalah
pertanda kalau kita telah bersyukur. Betapa banyak mulut yang mengucapkan
terimakasih kepadaNYA namun hati masih memendam rasa kecewa.
Sahabatku… Saat kita mampu
menikmati meski mulut tidak berucap apakah Dzat Maha tidak mengetahui? Tidak mungkin
tidak bukan?
Kita bisa membohongi ucapan
syukur tapi tidak rasa syukur. Itulah kenapa bersyukur adalah menikmati.
Bersyukur adalah menjadikan segalanya
nikmat yang dinikmati. Apapun hal yang
terjadi kepada semesta kita, sikap kita tetap menyatu dan bergerak tanpa
penolakan namun penerimaan penuh yang terus disertai oleh dua hal :
Pertama : DISERTAI Oleh rasa
Artinya rasa kita menyadari penuh
bahwa kita ini adalah diriNYA. Energi SANG PENCIPTA yang terus berfluktuasi
dalam ruang dan waktu. Kita ini adalah kebersamaan abadi bersamaNYA. Sadar atau
tidak ini adalah nyata, bukan sekedar spiritualitas bukan sekedar ilmu
pengetahuan. Namun keagungan penciptaan.
KEDUA : DISERTAI OLEH GERAKAN
Pernahkah mendengar “apabila kita
bersyukur maka kita akan ditambah”. Bagaimana bisa demikian?
Tugas manusia adalah menghargai
setiap nikmatNYA. Segalanya adalah nikmat, hanya saja kita lebih sering meneropong
keluar dan terus menerus membandingkan kadar nikmat yang kita terima dengan
yang orang lain terima.
Padahal kita hanya perlu bergerak
melampaui mereka yang kita lihat. Salah satu caranya adalah dengan
mempertahankan nikmatNYA melalui banyak aksi, artinya banyak gerakan.
Coba pikirkan, nikmat apa yang
diberikan olehNYA kepada kita saat ini?
Kalau itu adalah sehat, maka
pertahankan kesehatan itu. Kalau itu nikmat harmonisasi cinta, maka pertahankan
harmonisasi cinta itu. Kalau itu kedamaian, maka pertahankan kedamaian itu.
Kalau itu ilmu, maka sebarkanlah ilmu itu agar tidak hilang. Kalau itu
kemakmuran, maka pertahankan dengan terus memakmurkan.
Hidup ini adalah sebab akibat
aksi. Terus beraksi dan tidak menyerah dalam mempertahankan nikmatNYA adalah
tanda bahwa kita tidak mengingkari dan mensia-siakan nikmatNYA. Dan tidaklah
ini kecuali bersyukur.
Coba bayangkan bila kita memberikan
sesuatu ke orang lain, lalu orang yang kita berikan itu sama sekali tidak
menjaga pemberian kita. Apakah kira-kira itu pantas dia lakukan? Pastilah tidak
bukan?
Kalau begitu bukankah sudah
menjadi keharusan kita sebagai hamba untuk terus mempertahankan
anugerah-anugerah nikmatNYA. Sebagai tanda bukti bahwa kita sama sekali tidak
mengingkari nikmatNYA dan kita menghargai serta berbahagia atas seluruh nikmat-nikmatNYA
dalam hidup ini?
Bahan renungannya sederhana;
bagaimana bisa kita meminta sesuatu ditambah kalau yang ada saja nikmatnya
tidak dihargai dan tidak dipertahankan?
[ LALU SUDAHKAH KITA BERSYUKUR ?]
Sahabatku… Jawaban dari
pertanyaan ini adalah pertanyaan juga, yaitu “sudahkah kita menikmati nikmat, ataukah
kita hanya menjadi pengumpul nikmat yang tidak pernah dinikmati?”
Kalau iya, lalu kapan kita akan bersyukur?
Untuk mulai bersyukur mari kita mencoba untuk menikmati nikmat-nikmatNYA ini
adalah solusiNYA.
Salam Semesta
Copyright 2019 © www.PesanSemesta.com
#pesansemesta