Sahabatku… Tahukan kita kalau
menurut pusat pengendalian pencegahan penyakit Tiongkok diteliti kalau secara
mengejutkan, tidak ada kematian di antara bayi, balita, atau anak-anak di bawah
10 tahun. WHO bahkan mengatakan kalau anak-anak tidak berisiko tinggi terhadap
corona virus.
BAGAIMANA HAL ANEH INI BISA TERJADI?
Ini aneh karena dengan penyakit
pernapasan lainnya seperti flu, yang sangat muda dan yang sangat tua harusnya
menghadapi risiko kematian terbesar. Tapi fakta yang berkata di lapangan justru
jauh berbeda. Pasien tertua justru telah menghadapi resiko kematian terbesar.
Padahal menurut pengamatan cara orang meninggal karena COVID-19 sebenarnya
sangat mirip dengan cara orang dapat meninggal karena flu - walaupun virus
influenza sangat berbeda dari corona virus.
Sahabatku… Fakta ini tidak akan
aneh lagi kalau kita mengetahui penyebabnya. Mari kita pelajari alasannya
sebentar.
Penyebabnya sangat sederhana, ini
tentang bagaimana seseorang mampu bertahan dengan kompleksitas internal dan
eksternalnya. Seorang anak dibawah 10 tahun masih memandang dunia sebagai
tempat belajar dan mengambil pengalaman. Mereka lebih santai, lebih mudah
berbahagia, lebih mudah memaafkan, lebih fleksibel dengan keingianan, dan lebih
berwelas asih terhadap dirinya sendiri.
Anak-anak memiliki otak spiritual
yang lebih aktif dari pada mereka yang lebih tua. Betul memang secara fisik
mereka masih lemah karena bahkan sistem kekebalan mereka belum berkembang
se-kompleks orang yang lebih tua. Namun dari sisi pikiran, mereka jauh lebih
jernih dari stress ketimbang orang yang lebih tua. Ini merupakan rahasia dan
alasannya besarnya, karena bagaimanapun otak kita bekerja berdasarkan pikiran.
Pikiran orang yang lebih tua
cenderung lebih menanggapi kecemasan dan ketakutan social. Dan secara sengaja membiarkan
diri terjebak dalam stress. Ketika kita merasa stres, tubuh kita menerima
banjir hormon yang dimaksudkan untuk membantu melawan situasi yang menyebabkan
gangguan seperti itu. Namun ujung dari ini tidak terlalu baik, tubuh
meningkatkan tekanan darah (BP) dengan menyebabkan jantung berdetak lebih cepat
dan pembuluh darah mendadak menyempit.
Sistem kekebalan adalah kumpulan
milyaran sel yang bergerak melalui aliran darah. Mereka bergerak masuk dan keluar
dari jaringan dan organ, membela tubuh terhadap benda asing (antigen), seperti
bakteri dan virus, termasuk virus corona. Ketika kita stres, kemampuan sistem
kekebalan tubuh untuk melawan antigen berkurang. Itu sebabnya kita lebih rentan
terhadap infeksi (peradangan harus terjadi).
Hal buruk dalam upaya tubuh untuk
melawan virus, termasuk virus corona adalah sistem kekebalan tubuh kita dapat
menyebabkan peradangan. Dalam dunia kedokteran proses ini disebut syok septik,
merupakan respons seluruh tubuh di mana sistem kekebalan berusaha menyerang
virus di mana-mana.
Pada kondisi tubuh yang normal,
apabila syok septik terjadi, maka otak akan menganalisa tingkat kerusakan yang
akan diterima oleh tubuh akibat dari sistem kekebalan ini. Bagaimana otak
melakukan hal ini adalah dengan menggunakan hormon dan neurotransmiter.
Otak menganalisa ketika
peradangan menjadi terlalu kronis, atau ketika tubuh perlu menggunakan energi
untuk tindakan yang lebih penting, maka berbagai sitokin dan steroid
dikeluarkan oleh otak untuk menurunkan peradangan dan respons antivirus.
Hasilnya peradangan bisa
dihentikan sementara, agar kita tidak tersiksa. Pekerjaan otak yang sangat
canggih dan kompleks ini mampu mencegah respons imun menjadi hiperaktif, dan
memperparah peradangan yang akan membuat kerusakan organ lanjutan.
Sayangnya stress menekan otak kita untuk melakukan kegagalan
dalam melakukan tugasnya mengatur sistem kekebalan, dan inilah yang menyebabkan
kenapa persentase kesembuhan sangat minim terjadi di corona pada pasien yang
lebih tua.
Stres jangka panjang juga
merangsang gen yang meningkatkan peradangan dengan atau tanpa melakukan
pelepasan steroid. Dalam situasi stress banyak gen yang justru malah mengurangi
faktor-faktor yang menstimulasi steroid. Ini didasarkan pada perubahan reseptor
steroid di dalam sel.
Alih-alih membuat lebih banyak
steroid, gen justru menghasilkan lebih banyak alasan yang meningkatkan
peradangan, tapi peradangan yang terjadi didalam tubuh, tidak disertai dengan
penawarnya. Jadi singkatnya pada saat stress, tubuh kita justru akan memaksa
tubuh melakukan banyak peradangan, dan menurunkan sistem imunitas yang justru
kita butuhkan untuk mengobati peradangan itu.
Itulah kenapa meski stres adalah
bagian alami dari kehidupan, tetapi masalah kesehatan bisa muncul ketika stress
terjadi terus menerus. Dampak dari stress selain depresi, rasa sakit, juga
kerusakan organ dan sistem jasad, termasuk didalamnya bagaimana otak mengatur
sistem kekebalan.
Satu-satunya pencegahan untuk hal
ini adalah kembali mengaktifkan otak spiritual. Dengan mengaktifkan otak
spiritual, maka kita mampu menurunkan resiko stress berlebihan yang mengacaukan
kesejahteraan fisik kita.
LALU APA ITU OTAK SPIRITUAL?
Otak spiritual sendiri bukan hal
mistis. Otak spiritual adalah tentang fisik dan bukan tentang non fisik. Otak
spiritual adalah sesuatu yang bisa kita sentuh dan lihat.
Ilmuwan telah menemukan bagian fisik
Spiritual Otak didalam otak manusia. Mengejutkannya, bagian ini tidak perlu
diaktifkan oleh agama. Artinya, siapapun memiliki bagian ini didalam otaknya,
baik itu beragama atau tidak beragama. Baik itu mengaku berTuhan atau tidak
berTuhan. Baik itu dicap mukmin ataupun dicap kafir sekalipun.
Bagian otak yang memproses
pengalaman spiritual adalah bagian
"parietal cortex" atau "lobulus parietal inferior kiri"
untuk lebih spesifiknya. Selain aktif pada masa-masa spiritual, bagian otak ini
juga diaktifkan setiap kali seseorang menyadari dirinya atau orang lain (move-in
dan harmonisasi kebersamaan). Ini juga dirangsang ketika seseorang menggunakan
keterampilan perhatiannya (mengamati dan mengambil pelajaran).
Dalam studi mereka, para
peneliti, yang dipimpin oleh Marc Potenza, profesor psikiatri di Yale Child
Study Center dan neuroscience, mewawancarai 27 orang dewasa muda. Mereka
bertanya kepada para peserta tentang pengalaman masa lalu mereka yang penuh
tekanan, santai, dan spiritual.
Setelah wawancara, para peserta
menjalani pemindaian fMRI ketika mereka mendengarkan materi yang direkam
berdasarkan pengalaman transenden pribadi mereka. fMRI scan mengungkapkan bahwa bahkan dengan pengalaman spiritual yang
berbeda, otak mereka menunjukkan kegiatan serupa yang berasal dari korteks
parietal.
Gelombang otak partisipan
mencerminkan pola yang sama ketika mereka terus mendengarkan rekaman mereka
masing-masing atau ketika mereka mengalami keadaan transenden masing-masing.
"Kami mengamati dalam kondisi spiritual, dibandingkan dengan kondisi
relaksasi-netral, aktivitas berkurang di lobulus parietal inferior kiri (IPL),
sebuah hasil yang menunjukkan IPL dapat berkontribusi penting untuk pemrosesan
persepsi dan representasi diri lainnya selama pengalaman spiritual,"
Begitulah para peneliti menulis dalam
penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Cerebral Cortex.
OTAK SPIRITUAL BERHUBUNGAN DENGAN RANGSANGAN STRESS SERTA SISTEM
IMUNITAS
Penemuan ini sukses menjadi bukti
kalau spiritual bukan tentang agama atau beragama. Spiritual adalah bagian
netral dari tiap spirit. Jangan tersinggung dulu, perhatikan anak-anak, level
mereka menjalani rukun-rukun agama masih lebih berantakan ketimbang mereka yang
lebih tua. Namun ciri-ciri otak spiritual yang senantiasa aktif sukses mereka
miliki.
Kehadiran corona virus membuktikan
hal ini menjadi lebih jelas. Sampai-sampai WHO berani membuat statement kalau
anak-anak tidak beresiko tinggi terhadap virus ini.
Penelitian tentang otak spiritual
juga menyatakan bahwa medial thalamus
dan caudate, bagian yang bertanggung
jawab untuk pemrosesan sensorik dan emosional, kurang responsif terhadap
rangsangan spiritual dibandingkan dengan stres.
Artinya? Stress yang kita
pikirkan bekerja lebih kuat dari sisi spiritual yang kita pikirkan. Simpan
informasi ini baik-baik, karena ini akan menjadi pegangan penting bagi kita
dalam mengaktifkan otak spiritual.
Tentunya dengan mengasah otak agar
terus menerima rangsangan spiritual kita dapat membantu membangun kekuatan dan
mengurangi efek depresi dan stress agar tidak berkembang menjadi penyakit yang
pada gilirannya memengaruhi kesejahteraan fisik.
Sahabatku… Ketahuilah, apa yang
kami sebut "otak spiritual" saat ini menjadi fokus dari banyak
penelitian. Ini bukan tentang "mencari Tuhan" di otak. Juga bukan
tentang memuji atau mengkritik praktik agama atau doktrin apapun.
Ilmu otak spiritual ini bertujuan
untuk memahami bagaimana spiritualitas berdampak pada pikiran dan kesehatan
fisik dan emosional kita. Tujuannya adalah untuk memulai perjalanan penemuan
diri untuk mencari kebahagiaan, kelimpahan pribadi, dan kesejahteraan fisik sebagaimana
yang telah ditakdirkan olehNYA.
Sahabatku… Kita tidak pernah
salah apabila berencana membuat surga dunia. Namun surga dunia itu hanya
tentang bagaimana diri membuat surganya sendiri. Kita telah memiliki salah satu
alat pendukungnya didalam otak kita dan itu disebut otak spiritual. Sekarang
tinggal bagaimana kita senantiasa membuatnya aktif. Kita akan meneruskan
pelajaran kita.
Salam Semesta
Copyright 2020 © www.pesansemesta.com