Sahabatku… Pemahaman tidak hadir
dari sekedar melihat dan membaca, namun memperhatikan dan mengamati apa yang yang
telah terlihat dan terbaca dengan akal yang mau berpikir dalam kenetralan.
Ayat-ayat semesta hanya akan
menjadi bukti keterhubungan penciptaan yang sia-sia apabila tidak pernah
terperhatikan dan teramati. Setumpuk
karya Agung Dzat Maha yang pada akhirnya sekedar menjadi gambar-gambar listrik
yang hanya bisa kita lihat tapi tidak kita saksiksan.
Renungkalah, apabila kita tidak
pernah menyaksikan keagungan buatanNYA, maka bagaimana kita telah dengan
sengaja mengakui diri telah bersaksi atas diriNYA – Sungguh kekhilafan yang
nyata bukan? Ayat-ayatNYA bergema untuk kita saksikan, namun bahkan gemaannya
pun telah luput kita saksikan.
Jelas dan nyata memang kalau Dzat
Maha Pembuat segalanya tidak membutuhkan kebersaksian ini. Kalau segala yang
kita gunakan untuk menyaksikanNYA adalah dari buatanNYA sendiri, maka bagaimana
bisa DIA membutuhkan apapun dari diri ini sahabatku…?
Hanya saja kita lah yang
membutuhkannya, ini hanya murni tentang kesadaran kita yang butuh kembali.
Kita kembali untuk menyaksikan wujud
keMahaan DzatNYA didalam setiap ayat yang bergema, di setiap sel yang berputar,
di setiap molekul yang bergerak, di setiap energy yang terbentuk.
Semuanya dimulai dari ayat yang
bergema dalam diri ini sampai yang diluarnya. Sementara dasar kita melakukan
ini hanya agar iman yang kita akui ini bisa menjadi terasa manis dan mempesona.
Untuk permulaannya, mari kita
mulai dengan membuka akal pikiran ini. Nantinya kebersaksian kita dalam
memahami ayat-ayatNYA akan menjadi proses dan alur pelajaran panjang yang indah
dan selama masa proses dan alur yang panjang itu kita akan senantiasa ikhlas untuk terus memperhatikan
dan mengamati.
Dan ini merupakan wujud tertinggi
akan jiwa yang mau mengimani keberadaanNYA. Ini tentang sesuatu yang lebih
manis dari gambaran apapun tentang surga. Dimana surga tidak lagi menjadi
sebuah tempat tujuan, melainkan rasa yang mengalun bersamaNYA, baik dalam kehidupan
ataupun kematian.
Tapi sebelumnya ketahuilah
sahabatku… Ikhlas belum dikatakan ikhlas sebelum kita terlebih dahulu
membiarkan ikhlas menghilang. Ikhlaslah tanpa membawa ikhlas, itu baru ikhlas
yang sejati.
Ikhlas sejati itu bukan sekedar
apa yang rela kita bagi atau apa yang rela kita terima. Namun seberapa rela
menghilangkan diri. Bergerak dalam ketulusan sebagai Semesta. Semesta yang
hanya mengikatkan diri denganNYA. Dengan nama apapun kita menyebutNYA… Hanya
ada gerakanNYA didalam gerakan kita. Hanya ada keinginanNYA didalam keinginan
kita. Hanya ada diriNYA didalam diri kita.
Saat seseorang berhasil dengan
ikhlas sejatinya. Maka setiap gerakan adalah kerelaan tapi tanpa kerelaan itu
sendiri. Seperti air yang masuk kedalam gelas atau masuk kedalam mangkuk.
Bukankah air tidak pernah berpikir apakah dia rela atau tidak rela membentuk
dirinya menjadi gelas atau mangkuk. Sebegitu saja dia mengikuti tempat yang
membentuknya. Itulah keikhlasan sejati, yaitu kita memblendingkan diri kita
dengan ayat-ayat semesta. Membiarkan Dzat Maha Pengatur Semesta ini yang menuntun
dan membiarkan diri dituntun.
Jadi sahabatku… Kalau kita
bertanya sekali lagi tentang apa itu ayat-ayat semesta? Maka jawabannya adalah
segalanya.
Ayat-ayatNYA berada disetiap inci
langkah yang kita pijak, dari apa yang kita pijak dan apa yang memijak. Dari
mulai mata yang kita gunakan sebagai mesin optic organik untuk menangkap segala
gambar-gambar listrik, sampai segala gambar-gambar listrik yang kita tangkap,
baik itu yang berhasil tertangkap penglihatan atau tidak berhasil.
Segalanya adalah ayat-ayatNYA
yang terangkum didalam segalanya. Segala yang luput dan segala yang teramati.
Segala yang terperhatikan dan segala yang terlewati. Pahamilah kalau
ayat-ayatNYA tidak pernah hanya sekedar tertulis didalam sebuah buku. Tidak
akan pernah ayat-ayatNYA tercetak sesempit lembaran-lembaran itu sahabatku…
Sibaklah dan bacalah ayat-ayatNYA
yang tidak pernah sempat tertulis sahabatku…
Sekali lagi karena ayat-ayatNYA adalah
setiap inci semesta yang terbentuk. Energy yang terbentuk disegalanya, itulah ayat-ayatNYA. Tidak ada satu
pun yang terlewat kecuali itu adalah ayatNYA yang dibuat oleh yang terciptakan.
Itulah kenapa membaca ayatNYA bukan sekedar alunan syair yang tertulis diatas
buku.
Membaca ayatNYA adalah
memperhatikan dan mengamati setiap inci dari apa yang membentuk diri dan
semesta. Disanalah wujud ayat-ayatNYA yang Agung bersemayam dan tidaklah kita
memperhatikan dan mengamati kecuali dengan menggunakan akal pikiran yang mau diberpikirkan.
Seharursnya proses dan alur
panjang kita dalam memperhatikan dan mengamati sudah menjadi pekerjaan utama
pikiran. Seharusnya kita terbiasa untuk hidup dan memperhatikan segala yang
tampak dihadapan, karena apapun itu yang tampak adalah ayat-ayatNYA. Sayang
memang kita sama sekali tidak terbiasa dengan ini. Bagi kita ayat-ayat hanyalah
kitab yang dibawa ajaran ke-agamaan. Dimana membaca ayat sama seperti membaca
kitab.
Padahal sebenarnya tidak pernah
seperti itu, seharusnya pikiran kita dengan akalnya sudah mau menjadi jendela yang
terus memperhatikan dan mengamati ayat-ayatNYA yang tertulis di segala yang
terciptakan. Karena pada kenyataannya kehadiran akal pikiran memang dibuat agar
kita mampu memperhatikan dan mengamati. Lalu memilih berdasarkan kesadaran yang
terhubung denganNYA sesuai dengan tingkat kesadaran dari apa yang kita
perhatikan dan amati.
Dzat Maha telah memberi kita
sepaket mesin canggih (jasad) untuk ini. Tapi apakah kita mau atau tidak mau…
Jelas butuh pilihan disini, sementara setiap pilihan adalah proses yang butuh
waktu dan pengabdian.
Pertanyaannya menjadi sederhana sahabatku…
Maukah kita memahami ayat-ayatNYA yang menggema dalam semesta dan diri ini?
Salam Semesta
Copyright 2020 © www.pesansemesta.com