“We’re creatures who are genetically programmed to see patterns and to seek meaning”
Berabad-abad yang lalu, ada
seorang yang dikenal dengan nama Fobinacci. Dia mulai mengamati pola alam yang
indah di sekitarnya; Dari susunan daun pada tumbuhan, hingga pola kuntum bunga,
daun pinus, atau sisik nanas. Ternyata semuanya memiliki pola yang sama dan
pengaturannya berjalan 1, 2, 3, 5, 8,13, 21, 34 dan seterusnya.
Saat kita mulai menghitung rasio
bilangan fibonacci dengan bilangan fibonacci sebelumnya, kita akan mendapatkan
hasil seperti 1.61803… bilangan irasional yang dibulatkan menjadi 3 tempat
desimal 1.618 yang merupakan rasio emas yang kita baca.
Sahabatku… Jujur saja membahas teori
golden ratio dalam selembar kertas yang sempit pastinya akan membosankan! Itu karena
teori golden ratio itu sangat unik dan menyenangkan. Dimana kita bisa
menyaksikan dengan jelas simetri-simetri semesta yang terbentuk dan persamaan
mereka yang terancang dengan sangat detail dan indah.
Kalau kita sudah mulai
menghitung, maka akan sulit berhenti. Karena kalau dijabarkan, ternyata kuantitas
fisik adalah properti dari bahan yang dapat diukur oleh pengukuran.
Lucunya, meski dapat diukur,
namun kemunculannya sendiri hadir tanpa sedikitpun pernah diketahui
penyebabnya. Membuat kita bertanya-tanya: Apakah
ini hanya kebetulan belaka?
Sayangnya memang kita tidak pernah
hidup sebagai semesta yang dirancang dalam kebetulan. Segalanya membawa usul,
alasan dan tentunya sebuah awal. Kebetulan adalah alur proses yang tidak
terpahami. Jalur alur yang luput dari pengamatan dan kewaspadaan, itulah
kebetulan. Jadi bahkan kebetulan pun memiliki awal.
Sementara awal tidak muncul
dengan kata kebetulan. Pertama dari yang pertama itu adalah sebuah perencanaan
bukan kebetulan. Sesuatu tidak mungkin dikatakan kebetulan karena kebetulan
bukan kebetulan.
Pikirkan, kalau ‘kebetulan’ tidak
pernah ada. Bukankah memang harus ada yang merancang agar ‘kebetulan’ itu ada? Jadi
sangat logis kalau bahkan ‘kebetulan’ butuh yang namanya rancangan.
Kalau dikatakan energi muncul
begitu saja dari ketiadaan yang menjadi keadaan. Maka siapakah yang merancang
energi itu agar menjadi sesuatu.
Kita tidak bisa menjawabnya
sebagai ‘kebetulan’ lagi. Kelogisan kita telah menjawab kalau ‘kebetulan’
sendiri butuh rancangan. Jadi kebetulan tidak akan pernah menjadi jawaban dari seseorang
yang logis.
Bagi akal kebetulan itu tidak akan
pernah ada. Selalu ada makna dibalik apapun. Selalu ada perencanaan yang
tersistematis dan memiliki makna dari apapun yang terbentuk. Dan makna itu sendiri
adalah pelajaran yang berharga bagi mereka yang berpikir dengan akalnya.
Misalkan saja saat kita memperhatikan
bentuk diri kita sendiri. Pastinya kita bisa menemukan begitu banyak
perencanaan yang terlalu terencana. Contoh terpentingnya adalah molekul DNA,
cetak biru kehidupan itu ternyata didasarkan pada rasio emas juga.
DNA tersusun atas dua rantai
heliks tegak lurus yang saling berjalinan. Panjang lengkungan pada setiap
rantai heliks ini adalah 34 angstroms dan lebarnya 21 angstroms. (1 angstrom
adalah seperseratus juta sentimeter.) 21 dan 34 adalah dua angka Fibonacci yang
berurutan.
Apakah ini adalah kebetulan? Kalau
kita menjawab iya, tetap ini adalah kebetulan yang sangat terencana bukan? Tanpa
bisa menaruh penjabaran apa-apa tentangnya.
Tanpa pernah diketahui alasan kemunculannya. Tetap semesta ini memang
ada yang merancang. Jelas ada kecerdasan yang beroperasi dibalik tiap energi
yang terbentuk.
Tentunya ada SATU kecerdasan yang
bergerak tanpa batas kecerdasan dan kreativitas. Kecerdasan yang terus bekerja netral
merancang. Lalu berkat rancangannya, terbentuklah segala sesuatu di alam
semesta.
Dimana semua bentuk dan fenomena yang
terbentuk hanyalah berawal dari SATU kecerdasan ini. Golden ratio sebenarnya
hanya pengingat kalau PERANCANG YANG SATU itu memang ada.
Apabila kita mengakui yang SATU ini
sebagai TUHAN. Maka pertanyaannya; apakah betul kita memang telah
menTuhankannya?
Jelas pengakuan kita akan menjadi
kebohongan besar kalau tidak dilakukan. Sementara tidak sopan bukan membohongi SANG
SATU yang telah merancang dan membuat kita?
Sahabatku… Terlepas dari persepsi
kita yang bimbang akan kebetulan atau bukan, mari kita ambil saja sisi terbaik
dari golden ratio. Bukankah sisi baiknya kita jadi mau memikirkan ulang tentang Sang Perancang? Kalau Sang Perancang itu adalah Tuhan, maka apakah kebetulan
kita akan mengaku telah mentuhankannya?
Jujur kami sendiri tidak menyangka kalau ujung akhir tulisan sederhana ini ternyata jauh lebih rumit ketimbang judulnya. Mungkin memang begitulah adanya. Kita memaksa diri mengaku memiliki Tuhan tapi lalai mentuhankannya.
Sebuah kenyataan yang sinis. Padahal akal kita paham kalau Dzat Maha tidak mungkin butuh apa-apa lagi – apalagi itu butuh dituhankan.
Hanya saja, kalau memang akal kita paham Dzat Maha tidak butuh dituhankan, maka kebutuhan siapakah mentuhankanNYA kalau bukan kebutuhan kita
sendiri… Tapi kenapa kita bergerak seakan tidak butuh?
Salam Semesta
Copyright 2020 © www.pesansemesta.com
#pesansemesta