Me-makmur-kan adalah memfungsingkan diri untuk kehidupan, bukan untuk keuntungan. Kita memakmurkan kalau kita sudah bisa berperan untuk kehidupan semesta, bukan sekedar berperan untuk mencari keuntungan bagi diri sendiri.
Kalau sinar matahari menyinari
seluruh wajah manusia. Maka begitulah kita harus juga bersinar untuk seluruh
wajah manusia. Tanpa mengenal kata imbalan.
Membicarakan me-makmur-kan, bukan
membicarakan hak tapi kewajiban. Hidup ini selalu tentang kewajiban
sahabatku... Bukan lagi mana hak saya? Tapi apa kewajiban saya? Hidup itu
sendiri sudah menjadi hak yang sudah kita terima, dan sekarang tinggal
kewajiban kita saja.
Jadi sekarang ini bukan tentang
bagaimana saya bisa kaya? Tapi bagaimana saya bisa membuat kaya. Bukan tentang
bagaimana saya bisa bahagia? Tapi bagaimana saya bisa membuat bahagia. Karena
begitulah arti memakmurkan dalam kemakmuran.
Sahabatku… Kemakmuran tidak
mencari keuntungan pribadi, kelompok atau golongan. Kemakmuran adalah kehidupan
untuk kehidupan. Karena seluruhnya ada dalam kehidupan SANG PENCIPTA maka
merupakan keniscayaan semesta untuk bergerak sesuai penciptanya, yaitu
kehidupan untuk kehidupan.
Dan inilah yang kita lupakan
sahabatku… Kita lupa tentang kehidupan untuk kehidupan. Kita hanya sangat
peduli untuk me-makmur-kan kehidupan kita sendiri, tanpa peduli untuk
me-makmur-kan kehidupan lain.
Hasilnya kita menjadi semesta
yang berperan sempit. DImana kita hanya berperan untuk keuntungan bukan
kemakmuran, dan inilah jawaban dari ketidak beresan yang terjadi dalam planet
kita.
Memang harus diakui ada yang
salah dari tatanan kehidupan kita sekarang. Ada yang salah dengan bagaimana
kita hidup dan ada yang salah tentang bagaimana kita berfungsi.
Kesalahan-kesalahan yang muncul karena sesuatu yang sudah kita wajarkan sekian
lama.
Kita menormalkannya, dan tidak
sadar bahwa apa yang kita kerjakan dalam hidup ini telah merubah tatanan
kehidupan yang sudah diciptakanNYA sangat seimbang dan sangat nyaman bagi
semuanya. Kita menghapus keniscayaan yang seharusnya.
Seharusnya kita hidup seperti
udara, semua yang dibumi menghirup udara. Seperti atmosfir, semua bagian bumi
tertutupi atmosfir. Seperti tanah, semua bagian bumi memiliki tanah. Begitulah
seharusnya juga diri kita dan begitulah juga seharusnya kita hidup.
Seharusnya kita hidup sebagai kesadaran
yang sadar kalau sebagai semesta kita hanya hidup dalam kehidupan untuk
kehidupan. Dari satu kehidupan untuk seluruh kehidupan.
Namun apakah hidup kita sekarang
seperti ini? Sayangnya tidak…
Kita bergerak dari satu kehidupan
hanya untuk satu kehidupan. Kita hidup, namun hidup kita hanya terdedikasikan
untuk diri sendiri, bukan untuk seluruh kehidupan. Kita hidup hanya untuk
mengagungkan satu kelompok dan menistakan kelompok yang lain.
Saat ini rahmat bagi semesta alam
hanya bagian yang bisa dibaca tapi tidak mau dipraktekkan. Hanya semboyan lama dalam
kekosongan peran yang nyata.
Sahabatku… Tulisan keras ini
bukan sekedar mengingatkan tentang berapa rupiah yang kita keluarkan untuk
sesama, tapi mengingatkan tentang kesadaran yang terlupakan. Yaitu kesadaran
untuk menyadari kalau diri ini adalah bagian dari kesatuan semesta untuk saling
berperan secara sukarela. Saling memberi untuk saling menerima. Saling melepas
senyum untuk saling berbahagia. Saling berpegang erat untuk saling percaya.
Kesadaran yang bersaksi bahwa
hidup ini bukan tentang bagaimana saya hidup, tapi tentang bagaimana kita
hidup. Bukan tentang bagaimana kelompok saya hidup, tapi tentang bagaimana
makhluk semesta hidup.
Sahabatku… Apa yang harus kita
lakukan sekarang hanyalah masuk kedalam diri kita sendiri untuk sejenak
bertanya “Apa yang telah saya lakukan bagi dan untuk kehidupan tanpa mengharapkan
keuntungan?”
Andaikan matahari yang sedang
menyinari kita ini meminta keuntungan dari pembuatnya, mungkin tata surya ini
sudah luluh lantah karena egonya matahari.
Matahari menghangatkan lautan,
membangkitkan atmosfer, menghasilkan pola cuaca, dan memberikan energi untuk
satu tanaman hijau yang berkembang lalu memberikan makanan dan oksigen bagi
kehidupan di Bumi. Makmurnya planet Bumi kita ini karena matahari tidak pernah menyimpan
egonya.
Lalu haruskah kita luluh lantah
karena ego pengemis keuntungan yang masih disimpan?
Jawablah masing-masing sahabatku…
Manusia yang beruntung tidak akan mengemis keuntungan, mereka hanya akan
bergerak menyebar keuntungan. Jadilah semesta yang beruntung itu sahabatku…
Caranya adalah dengan mulai menjadi
semesta yang memakmurkan.
Mari kita bergerak sebagaimana
keniscayaan semesta. Meski itu hanya sesederhana bergerak mengangkat satu
krikil dari tengah jalan. Tapi ingat saat kita bergerak, ingatkan ego diri
kalau ini untuk memkamurkan semesta dan dengan tulus diri ini akan memakmurkan
tanpa meminta upah, ataupun keuntungan dari Dzat Maha Yang Menggerakkan.
Sahabatku… Perlahan-lahan saja, ajaklah
ego dengan perlahan dan lembut. Katakan padanya kalau sudah saatnya dia menjadi
semesta yang memakmurkan. Ego yang paham akan terbujuk, percayalah!
Pertanyaannya; bagaimana membuat
ego paham?
Salam Semesta
Copyright 2020 ©
www.pesansemsta.com
https://www.instagram.com/pesansemesta.ig/