Kami
hanya akan mencoba menemukan jawaban yang netral. Jadi ini bukan mungkin atau
tidak mungkin. Segalanya adalah sebab akibat. Semesta hidup dalam dua nilai
yang terseimbangkan.
Semoga tulisan sederhana ini menjadi
pengetahuan netral semesta yang mampu mencerahkan setiap semesta yang masih
terjebak dalam pengertian yang keliru untuk menemukan pencerahan spiritualnya
masing-masing.
Sahabatku… Kekeliruan kecil kita selama
ini adalah mengkaitkan Tuhan dengan agama. Itulah kenapa banyak dari kita yang
terjebak dengan persepsi kalau untuk menjadi spiritual harus beragama, dan seseorang
yang beragama sudah pasti spiritualis.
Mulai sekarang, tolong jangan
lagi berpikiran kalau spiritualitas dan agama adalah sama. Memeluk agama tidak
bisa menjadi tanda dari spiritualitas. Yang sebenarnya adalah, memeluk agama
itu merupakan tanda dari religiusitas dan bukan spiritualitas.
Meskipun agama menekankan
spiritualisme sebagai bagian dari iman. Tetaplah seseorang yang religius belum
tentu spiritualis. Begitu juga kalau dibalik, seseorang yang sipiritualis belum
tentu harus religius.
Spiritual adalah bergerak sebagai
rahmatNYA bagi semesta alam. Spiritual tidak menghamba nama agama, melainkan
menghamba langsung kepada Dzat Maha.
Perhatikanlah semesta kita, bukankah semesta kita ini tidak beragama? Tetapi, dalam ketidakjelasan agamanya kalau kita memperhatikan, semesta kita bergerak sesuai dengan aturan-aturan yang dibentuk oleh pembentukNYA.
Mereka patuh kepada tugas dan
fungsi mereka masing-masing. Mereka tidak merusak. Mereka hidup untuk
memakmurkan. Mereka konsisten agar gerakan mereka adalah gerakan rahmatNYA bagi semesta alam.
Jangan jauh-jauh mencari contoh. Perhatikan
saja detak jantung kita saat ini, berdetak pastinya. Faktanya, jantung umat
manusia memiliki sistem operasi yang sama, meskipun mereka berbeda agama atau
tidak beragama sekalipun. Atau perhatikan matahari yang terbit dan terbenam
itu, apakah dia memilih satu area untuk disinari hanya berdasarkan agama?
Dari dua contoh ini saja kalau kita
netral, maka kita bisa paham, kalau keniscyaan semesta tidak memandang apa itu
agama kita, atau apa itu keyakinan kita. Tidak juga memandang siapa nama Tuhan
yang kita sebut dan yakini. Bahkan keniscayaan semesta seakan tidak peduli
apakah kita ini semesta yang spiritual atau tidak spiritual.
Sahabatku… Begitulah adanya, keniscayaan
semesta itu adalah kenetralan absolut yang akan terlihat oleh akal yang mau melihat,
yang akan terdengar oleh akal yang mau mendengar. Kalau sudah terlihat dan
terdengar, maka kita akan paham kalau semesta ini seakan-akan mau menunjukkan
bahwa Dzat Maha itu memang tidak butuh disembah.
Jadi yang paling baik yang manakah…
Beragama atau spiritualis? Tentunya benak kita bertanya-tanya seperti itu bukan?
Sahabatku… Di dalam perbedaan
manusia dalam berkeyakinan, baik itu memeluk agama atau tidak memeluk agama.
Kita harus mau belajar memahami nilai-nilai keniscayaan semesta agar kita tidak
saling menyalahkan atau membenarkan. Sekali lagi, ini adalah pembahasan yang
netral. Apapun agama yang kita peluk, pastinya mengajarkan kita untuk mampu
melihat kenetralan semesta dan hidup di dalamnya.
Artinya, beragama atau tidak
beragama setiap kita bisa menjadi spiritualis sejati. Kami tidak akan menjawab
salah satunya lebih baik. Karena kebaikan hanyalah wajahNYA. Dari Dia-lah
segala kebaikan hadir, jadi kami tidak akan menilai apa itu baik sebagai sebuah
penghormatan kepada Dzat Maha Baik Pembuat nilai-nilai kebaikan itu sendiri.
Sebelumnya perlu dipahami kalau
spiritualis sejati itu bukanlah sebuah pengakuan yang bisa dipublikasi. Bukan
nama agama yang bisa ditulis. Bukan baju yang bisa memberi gelar.
Spiritual adalah jalinan khusus
dimana seseorang telah berhasil menemui diriNYA didalam dirinya. Hasil dari
penemuan ini adalah pembelajaran. Jadi seorang spiritual adalah seseorang yang
sadar sedang belajar dan berguru.
Seorang spiritual sejati tidak
akan bisa mengakui spiritualitasnya. Itu terjadi karena memang mereka sendiri
masih menjadi seorang pelajar. Sebagai seorang pelajar tidak ada lagi nilai
yang mereka kejar, selain mereka terus berguru dalam penghambaan yang ikhlas,
dan itulah wujud kesejatian.
Jadi spiritual sejati adalah
seseorang yang belajar dan berguru kepadaNYA. Kalau kita mau bertanya, dengan
apakah mereka belajar? Jawabannya adalah dengan segala apa yang diperlihatkan,
diberasakan, didengarkan dan diberpikiran olehNYA termasuk dirinya sendiri.
Sahabatku... Dirimu adalah jembatan spiritual yang panjang. Setiap makhluk adalah spiritual. Kita ini adalah ikatan yang selalu terikat denganNYA... Bahkan untuk seorang Atheis pun spiritual adalah keberadaan yang nyata yang harus dikenalinya. Pengenalannya adalah melalui mengenal diri terlebih dahulu.
Al-Ghazali dalam kitabnya Kîmiyâ’us Sa‘âdah mengatakan bahwa
mengenal diri adalah kunci untuk mengenal Tuhan. Al-Ghazali berkata “Logikanya sederhana: diri sendiri adalah hal
yang paling dekat dengan kita; bila kita tidak mengenal diri sendiri, lantas
bagaimana mungkin kita bisa mengenali Tuhan? Imam al-Ghazali juga mengutip
hadits yang berbunyi “man ‘arafa nafsah faqad ‘arafa rabbah” (siapa yang
mengenal dirinya, ia mengenal Tuhannya)”
Pada tahun 1831, Ralph Waldo Emerson menulis puisi berjudul
"Γνώθι ",
atau Gnothi Seauton ('Kenali Dirimu'), dengan tema "Tuhan di dalam dirimu". Puisi itu adalah lagu kebangsaan bagi
keyakinan Emerson bahwa mengenal dirimu sendiri berarti mengetahui Tuhan yang
Emerson rasakan ada dalam diri setiap orang. Jaluddin Rumi juga pernah berkata
“Jangan melihat ke luar. Lihatlah ke
dalam diri sendiri dan carilah itu.” Phytagoras juga memahami kalau dengan
mengenal diri, maka seseorang akan mengenal semesta dan Dzat Maha.
Menurut kami Phytagoras dan yang lainnya tidak mengucapkannya
secara berlebihan. Memang hanya itu yang akan kita dapat dari mengenal diri,
plus beberapa bonus dahsyat lainnya. Kami sebut bonus karena meski terdengar
sangat remeh. Namun mengenal diri adalah sebuah kunci menuju pintu lain dari
ekstensi manusia yang otentik.
Bisa disimpulkan kalau mengenal diri adalah sebuah cara bagi
manusia untuk menemukan makna keberadaan dirinya dan Pembentuk dirinya ditempat
yang sama. Apakah ini tentang agama? Jawabannya, adalah Tidak!
Mengenal diri, mewaspadai diri, mengendalikan diri bukan
tentang agama apapun. Tetapi tentang menghargai keberadaan diri yang sudah
dibuat oleh Sang Maha Menjadikan. Kalau kita menyakini Dzat Maha atau tuhan
kalau kita mentuhankanNYA itulah yang membuat tiap diri menjadi ada, terlepas
dari apapun agamanya. Maka tidaklah itu kecuali awal dari keyakinan yang
sebenarnya.
Agama bisa saja dituduh salah atau bisa saja melakukan
kesalahan. Tapi keberadaan diri kita tidak pernah salah. Cara Dzat Maha membuat
kita ada untuk melengkapi semesta raya ini tidak pernah salah. Jadi sudah
sewajarnya untuk menghormati Sang Maha Menjadikan kita mengenal diri,
mewaspadai diri dan mengendalikan diri yang dijadikan olehNYA itu, bukan?
Faktanya kita tidak akan bisa lagi menghormati Sang Maha Menjadikan, kalau bahkan apa yang Dia jadikan ini, apa yang Dia bentuk ini, apa yang Dia amanahkan ini sengaja kita acuhkan seperti kita mengacuhkan sehelai daun kering yang rontok ditengah hujan deras.
Sahabatku… Saat akal ini sudah
mampu menggiring pemiliknya untuk menemui Dzat PembuatNYA, maka akal ini akan
paham betul kalau proses hidup ini detik demi detiknya tidak akan pernah
terlepas dariNYA.
Akhirnya iman bisa terbentuk dan menguat, sehingga seseorang itu mampu
memahami kalau segala apa yang dia lihat, dia rasa, dia dengar dan dia pikirkan
selalu berhubungan langsung denganNYA.
Akhirnya dia paham, kalau memang
Dzat Maha lebih dekat dari urat nadi. Dzat Maha adalah segala tentangnya. Tidak
ada detik kecuali bersamaNYA. Seperti sepasang dua bilik jantung yang menyatu.
Seperti dua belah otak yang menyatu. Tanpa sela dan tanpa halang kecuali
bersamaNYA. Indah dan manis, begitulah apa adanya kita menjadi hambaNYA.
Sahabatku… Sebagai orang yang
menghamba, pastilah kita akan menurut kepada yang dituhankan. Inilah artinya
kesucian spiritual, yaitu saat seseorang berguru kepadaNYA dalam penghambaan
yang ikhlas.
Ikhlas menghamba, artinya kita tidak
lagi memandang agama sebagai tuhan, melainkan hanya sebagai aturan yang kita
hormati tapi tidak lagi kita tuhankan. Karena kita hanya mentuhankan Dzat Maha
yang harusnya kita tuhankan, dan tidak lagi mentuhankan agama.
Sekali lagi, spiritual adalah
bergerak sebagai rahmatNYA bagi semesta alam. Spiritual tidak menghamba nama
agama, melainkan menghamba langsung kepada Dzat Maha. Mohon peganglah ini
sebagai pencerahan yang cerah dari segala tujuan kita memilih, baik itu memilih spiritual saja atau
beragama plus juga spiritual.
Apapun pilihan yang kita pilih setiap kita sejatinya memang bisa menjadi spiritual sejati. Baik itu yang tidak menganut agama, ataupun yang beragama.
Sahabatku... Mohon jangan tersinggung dengan tulisan
kami. Apabila tidak sesuai dengan keyakinan yang Anda nilai benar, maka
biarkanlah apa adanya seperti ini. Keniscayaan semesta tidak hadir untuk
memenuhi nilai yang Anda nilai benar.
Lagi pula dimana letaknya iman saat kita masih mencecar apa yang benar dan yang salah? Apakah kebenaran itu masih penting, padahal yang paling penting di antaranya adalah Iman “Rasa kita memilikiNYA... Rasa kita menyatu dengaNYA... Rasa kita selalu bersamaNYA”
Pikirkanlah... Apakah benar dan salah menurut manusia itu masih penting, kalau ternyata kita
sudah benar, karena telah memiliki rasa?
Simpanlah jawabannya untuk merasakan sahabatku…
Akhir kata mohon pahami kalau kita tidak beriman untuk
menjadi spiritual. Kita justru menjadi spiritual untuk menjadi beriman. Jangan dibalik
agar pencerahan ini menjadi jelas dan nyata.
Salam Semesta
Copyright 2022 © www.pesansemesta.com
Follow : https://www.instagram.com/pesansemesta.ig
Subscribe : https://www.youtube.com/c/pesansemesta