“Izin bertanya; Apakah Manunggaling Kawula Gusti bertentangan dengan akal... Menyesatkan gitu? Mohon penjabarannya” BersamaNYA kami menjawab.
Dahulu Siti Jenar dianggap tersesat karena paham kalau dirinya bersatu dengan Tuhan. Lalu bagaimana dengan sekarang, apakah tulisan ini akan sama menyesatkannya – atau justru akan membuka akal yang tidak mau memahami ketersesatan yang sebenarnya?
Sahabatku… Kalau setelah membaca tulisan ini kita tergerak untuk menjadi satu dengan Dzat Maha. Maka lakukanlah dengan cara yang tidak pernah bertentangan dengan akal. Bersatunya manusia dengan Dzat Maha, tidak berarti bahwa seseorang itu Tuhan, melainkan manusia tersebut seharusnya bertingkah laku sebagaimana yang diinginkan Dzat Maha, yaitu menjadi gerbang rahmatNYA bagi semesta alam.
Dan kami tegaskan di awal ini bukanlah filsafat! Mereka berkata kalau “Manunggaling Kawula Gusti” adalah bagian dari filsafat. Namun bagi kami ini bukan bagian dari filsafat, melainkan keniscayaan. Karena memang pada wujud yang mendasar, semua wujud menyatu dengan Tuhan yang membentuknya.
Hanya saja sahabatku…Tuhan itu adalah definitif. Tuhan itu adalah sesuatu yang disembah dan puja, sesuatu yang ditakuti, sesuatu yang di prioritaskan, dan sesuatu yang mampu membuat kita melakukan sesuatu yang tidak kita sukai.
Kalau begitu, siapakah Tuhan dalam hidup kita? Siapakah yang kita sembah dan kita puja dalam hidup ini? Siapakah sesuatu yang kita takuti dalam hidup ini? Siapakah sesuatu yang kita prioritaskan dalam hidup ini? Siapakah sesuatu yang mampu membuat kita mampu melakukan sesuatu yang tidak kita sukai dalam hidup ini?
Jawablah dalam kejujuran kesadaran sahabatku... Dan kita akan menemukan bahwa itulah Tuhan kita, lalu barulah kita boleh mengakui kalau diri kita ber-Tuhan dengan siapa? Karena siapa tahu kita ber-tuhan uang, bertuhan kedudukan, ber-tuhan penilaian manusia, atau kita membiarkan ego diri menjadi tuhan yang tidak mau diakui.
Ini penting, karena sebenarnya, baru saat kita mampu menjawab pertanyaan ini lah kita boleh lanjut bertanya apa itu yang dimaksud dengan “Manunggaling Kawula Gusti”?
Seseorang akan sulit memahami keniscayaan “Manunggaling Kawula Gusti” kecuali dia sudah mampu mengakui siapa Tuhannya sendiri. Karena pemahaman tentang kenicyaan ini tidak akan dijawab oleh sejarah atau buku filasafat apapun. Keniscayaan ini hanya bisa terjawab oleh akal yang mau ber-tafakur (berpikir dalam kenetralan)
Dan inilah yang membuat banyak manusia lebih mudah menunjuk kalau keniscayaan ini adalah sesat dan menyesatkan. Karena memang menunjuk seseorang tersesat lebih mudah dibanding menunjuk ketersasatan akalnya sendiri untuk memahami.
Jadi agar tulisan ini seru dan memainkan akal, maka mari kita membuat bahasan saintifik untuk menjabarkan kalau “Manunggaling Kawula Gusti” bukanlah ketersasatan dan tidak pernah menyalahi akal yang mau paham.
Sabahatku…
Detik ini Bumi ini masih berputar, dengan apa Bumi ini berputar? Detik ini padi masih menumbuhkan beras, dengan apa padi itu menumbuhkan? Detik ini mata kita membaca tulisan ini, dengan apa mata ini membaca?
Pertanyaan diatas bisa memenuhi puluhan juta kubik kertas apabila dilanjutkan. Jadi mari kita persingkat saja; dengan apa kehidupan ini bergerak? – dan jawabannya adalah dengan sistem.
Sama seperti membangun bisnis yang bergerak autopilot. Begitu juga dengan dalamnya semesta yang bergerak auotopilot sesuai dengan sistem yang sudah dibangun.
“Sistem adalah sebuah tatanan (keterpaduan) yang terdiri atas sejumlah komponen fungsional (dengan satuan fungsi dan tugas khusus) yang saling berhubungan dan secara bersama-sama bertujuan untuk memenuhi suatu proses tertentu”
Dengan kata lain, harus ada KESADARAN MAHA SADAR yang membentuk sistem semesta ini dari awal hingga akhirnya nanti, bukan?
Kalau kita masuk ke dalam dunia quantum fisika, maka seluruh materi menjadi atom yang terbentuk dari energi. Bagi mata manusia, energi adalah kekosongan fisik tidak terlihat, tapi bukan berarti tidak ada. Niels Bohr seorang ahli fisika pernah memperingati kita “Mereka yang tidak terkejut ketika mereka pertama kali menemukan teori kuantum tidak mungkin memahaminya”
Bohr benar, karena disana terdapat Mahakarya KESADARAN MAHA SADAR yang dengan sistemnya membentuk energi, maka terbentuklah kehidupan dalam semesta ini.
Itulah kenapa Siti Jenar berkata dalam lirik syairnya “Ada adalah tiada dan kehampaan ini bernyawa”. Sebenarnya kalimat ini sangatlah saintifik. Keberadaan kita saat ini adalah ketiadaan fisik. Kita adalah materi hampa (kekosongan fisik) yang hidup (bernyawa).
Bukan sebuah isu kalau seluruh materi yang terdapat di dalam semesta ini tidak lain terbentuk dari kumpulan atom-atom.
Atom tidak memiliki struktur fisik. Atom adalah 99,99999% energi, dan 0,00001% zat fisik, maka seluruh semesta ini pada wujud aslinya tidak berwujud apa-apa selain energi yang bervibrasi. Ini berlaku untuk semuanya, termasuk didalamnya manusia.
Fakta yang dibawa oleh fisika quantum ini membuat akal kita terpelintir. Bukankah logikanya kalau semua bahan dasarnya sama, maka harusnya bentuk akhirnya juga sama? Namun ternyata TIDAK.
Manusia dan kucing itu berwujud asli sama, yaitu bentukan atom yang ujungnya hanyalah energi yang bervibrasi. Tapi kenapa kita berbentuk manusia dan kucing itu berbentuk kucing. Kenapa bunga lily berbentuk bunga liliy dan bunga bakung berbentuk bunga bakung? Padahal mereka berdua adalah sama-sama atom yang sekali lagi ujungnya hanyalah energi yang bervibrasi.
PERTANYAAN BESARNYA : KALAU SEMESTA INI HANYALAH ENERGI YANG BERVIBRASI, LALU BAGAIMANA BISA ENERGI ITU BEGITU SADAR MEMBENTUK BEGITU BANYAK WUJUD BENTUK MATERI?
Jawabannya adalah kimia. Meski atom terlihat seperti atom, namun atom memiliki dan membawa identitas dari wujud fisik yang kita lihat.
Semua atom terbuat dari PARTIKEL TRITUNGGAL yang sama - proton , neutron, dan elektron. Tetapi, jumlah proton, neutron dan elektron dalam tiap-tiap atom berbeda-beda. Dengan kata lain, meski berbentuk atom, namun atom-atom itu unik.
Ketika atom-atom unik ini bergabung dalam senyawa kimia, maka hasil dari gabungan itulah yang menentukan materi fisik yang kita lihat. Itulah yang membuat kita melihat apel sebagai apel, tangan sebagai tangan dan bulan sebagai bulan.
Atom yang sama tapi memiliki jumlah komposisi isi yang berbeda, sehingga masing-masing menghasilkan unsur yang unik. Lalu unsur-unsur unik itu menyatu, dan mewujudkan materi-materi baru yang berbeda-beda. Bukankah atom ini super canggih? Tapi sampai disini kita memiliki pertanyaan yang lebih menelisik lagi yaitu:
PERTANYAANNYA BAGAIMANA BISA ATOM-ATOM INI BERGERAK DENGAN KESADARAN YANG CERDAS, SEHINGGA MAMPU MENCIPTAKAN UNIVERSE DAN BAHKAN MULTIVERSE – BUKANKAH INI SEBUAH MAHA KARYA? LALU SIAPAKAH PENGGERAK MAHA KARYA INI?
Sahabatku… Kita boleh saja meniadakan Tuhan karena belum tentu kita memang benar-benar bertuhan. Hanya saja meniadakan DZAT MAHA PEMBUAT yang kesadarannya memancar kedalam setiap molekul semesta yang berwujud adalah kesia-siaan yang nyata.
Pikirkan sahabatku… SIAPA yang memberi kesadaran kepada energi bervibrasi ini untuk saling membentuk atom-atom unik dan bergabung dalam senyawa kimia, yang dari unsur kimia itu muncul-lah sesuatu yang kita sebut air, tanah, udara, angin, matahari, bulan, bumi, hewan, tumbuhan dan tubuh kita sekarang.
Dari system yang dibentuk oleh kesadaran Dzat Maha semua menyatu dan membentuk. Jelas manusia tidak akan pernah bisa terlepas dari tubuhnya. Kita berada disini sekarang, membaca artikel ini, dan mencoba memikirkannya adalah karena atom-atom kita telah sukses dibentuk olehNYA.
Jadi apakah kita masih bisa menyangkal kalau kesadaranNYA tidak ada? Kalau kita menjawab ada. Lalu bertanyalah, apakah saat ini, detik ini kita terpisah dari sistemNYA Dzat Maha ataukah kita menyatu?
Jawablah sahabatku… Jawablah dalam ketundukan seorang makhluk! Pikirkan seluruh sistem dalam hidup ini, apakah semuanya terpisah dengan kesadaranNYA atau kesadaran kitalah yang sengaja memisahkan diri dari keniscayaan yang sebenarnya?
Bahkan kalau kita mengumpat atas nama ketersesatan sambil berlari terbirit-birit pun tetap saja. Pengumpat yang terbirit-birit itu hanyalah bagian dari sistemNYA. Ketersesatan itu hanyalah bagian dari sistemNYA. Begitu juga dengan kita. Kita adalah sistemNYA, menyatu dengan sistemNYA, bergerak karenaNYA.
Tapi kalau penyatuan itu belum terasa, maka tidak apa, itu hanya karena kita memang belum bisa bermanunggal dengan pemilik sistem itu? Kenapa? Karena kita memang belum menyaksikanNYA sebagai Tuhan.
Kesaksian bukan sekedar menjawab. Kesaksian bukan sekedar merasakan. Kesaksian adalah menyatu dengan apa yang disaksikannya.
Sementara untuk kebersaksian dibutuhkan yang namanya kerelaan. Dzat Maha tidak butuh disaksikan sebagai Tuhan. Kitalah yang merelakan diri mentuhankanNYA.
Berarti PR kita memang masih banyak. Dalam kerendahan yang terisak kita memang bahkan belum menyaksikannya sebagai tuhan karena kita masih memiliki tuhan lain selain diriNYA.
Jadi siapa yang tersesat saat ini sahabatku…? Apakah seseorang yang sudah menyaksikan Tuhan dalam dirinya sendiri itu tersesat – atau kita yang tesesat?
Jelas kita akan berpikir ulang lagi mulai sekarang. Karena ternyata memang dari awalnya kita sudah menyatu dengan Dzat Maha. Kita menyatu bukan untuk menjadi Tuhan. Melainkan untuk ber-Tuhan.
Pahamilah paragraph diatas ini dengan ketundukan seorang makhluk agar kita tidak sengaja menyesatkan diri dengan menganggap diri sebagai tuhan. Diri ini tidak bisa menjadi tuhan. Karena bahkan tuhan tidak butuh dituhankan.
Pesan Siti Jenar melalui Manunggaling Kawula Gusti hanya hendak memberitahu kita bahwa kita harus mewakili Dzat Maha untuk mengelola Bumi, tugas manusia sejak awal diciptakan. Apakah ini menyesatkan dan menyalahi akal? Izinkan saja kesadaran kita menjawabnya.
Copyright 2021 © www.PesanSemesta.com