Seorang sahabat bertanya “Saya berusaha keras untuk menyempurnakan kesadaran saya. Tapi kenapa segalanya jadi terasa semakin sulit? Apakah memang seperti ini rasanya?” Melalui izinNYA kami menjawab.
Sebelumnya dengan rendah diri kami
tidak bisa menggunakan kata menyempurnakan.
Kesempurnaan adalah nilai yang
tidak memiliki batas. Kesempurnaan adalah totalitas ke-mahaan yang tergabung,
menyatu dan membentuk. Batas dari kesempurnaan hanyalah batas yang tidak bisa
terdefinisikan.
Segalanya adalah sempurna. Karena
bagi diri seorang makhluk kesempurnaan itu bukan terletak pada kesempurnaan
dirinya. Melainkan terletak pada kesempurnaan Sang Pembentuk dirinya.
Sudah sesempurna itulah diri ini.
Itulah kenapa saat kita berjuang memperbaiki kesadaran – kita tidak pernah
berjuang sebagai ksatria yang bertangan kosong. Kita justru berjuang sebagai
ksatria yang sudah lengkap dengan segala kesempurnaanNYA.
Tidak peduli apapun nilainya. Segala
bentuk tetaplah sempurna. Jadi saat manusia menilai kalau ‘kesadaran yang
meningkat’ adalah sempurna – maka bukan berarti ‘kesadaran yang tidak
meningkat’ tidaklah sempurna. Keduanya sama-sama dibentuk oleh kesempurnanNYA.
Karenanya sahabatku… Memperbaiki
kesadaran akan menjadi kata yang lebih baik digunakan. Alasannya karena kita sudah
sempurna. Kita adalah kesempurnaan yang penuh kebaikan.
Jadi jangan pernah khawatir tidak
sempurna, semuanya sudah menjadi sempurna dan baik apa adanya. Perbaikan kesadaran
adalah langkah untuk membuka bungkus kado kesempurnaan yang meningkat.
Dalam semesta ini kebaikan adalah
hal paling dinamis dari sistem yang dibuat oleh Dzat Maha. Jadi, gerakan
memperbaiki kesadaran ini tidak akan pernah padam.
Terus menerus kesadaran kita akan
bervibrasi untuk memperbaiki kesempurnaan yang ada untuk menjadi bentuk
kesempurnaanNYA yang terus berdinamis.
Akhirnya diri memang tidak akan pernah
berhenti untuk terpana dan terbenam dalam kecintaan yang manis terhadapNYA. Rasa
syukur pun akan terus saja merebak tanpa mengenal syarat kesempurnaan apapun.
Akhirnya tidak ada lagi kepedihan
yang terasa bahkan dalam tetesan darah yang mengalir. Parut luka akan tetap
manis meskipun menganga. Cengkraman lelah tidak menghilang tapi tetap saja diri
seperti bersandar dalam bantalan bulu angsa.
Ringan dalam berat, itulah
rasanya bersyukur. Dan ini adalah satu rahasia besar yang akan menghilangkan
segara rasa ‘sulit’ dalam memperbaiki kesadaran.
Karena sahabatku… Mohon dipahami,
siapa yang bilang memperbaiki kesadaran itu tidak sulit? Siapa yang bilang, memperbaiki
kesadaran itu mudah dan ringan?
Tidak pernah sahabatku… Kesadaran
diri tidak pernah menjadi porsi tanggung jawab orang lain selain diri sendiri.
Memperbaiki kesadaran artinya
kita harus mau memacut diri sendiri untuk mau menjalani tugas yang tertinggal. Untuk
membetuk fungsi yang sudah sengaja dianggurkan. Untuk menjadi rahmatNYA bagi
semesta alam.
Tentunya ada proses yang sengaja harus
dipahatkan kedalam diri oleh diri sendiri. Ada pacutan yang harus sengaja
dipacutkan ke dalam diri oleh diri sendiri.
Inilah kenapa memang memperbaiki
kesadaran itu SULIT.
Apakah memaksa diri untuk terus ‘mau’
memahat dan memacut diri itu tidak sulit? Pastinya sulit. Tetapi jangan juga lupa,
kalau hanya rasa syukurlah yang akan membuat kesulitannya menjadi manis.
Tidak hilang, tapi menjadi manis.
Bayangkan kita tersenyum di depan
kesulitan. Menenggak pahitnya, melucuti lukanya, menadahi nanahnya. Tidak sambil
mengeluh. Tapi sambil tersenyum karena masih diberi kesempatan untuk BELAJAR
dan menjadi PELAJAR.
Setiap pelajar bagaimanapun
sempurna atau tidak sempurnanya, berhak menanggung manisnya rasa syukur. Karena
disinilah bentuk rahmatNYA bagi semesta alam bisa tercicipi.
Seluruhnya sudah dibentuk untuk menjadi
rahmatNYA bagi semesta alam. Kita sebagai seorang pelajar yang sedang belajar ini
adalah rahmatNYA. Kalau ini mau kita cicipi, maka semuanya akan baik-baik saja.
Selalu baik-baik saja meskipun badai menyerang.
Sahabatku… Dalam membentuk
kesadaran kita akan terus diserang badai. Sederhananya saja badai ego yang
masih merasa dirinya paling baik. Atau badai ego yang masih menilai orang lain
tidak sesadar dirinya. Misal lainnya adalah badai kegagalan yang terus menerus
terjadi agar kita bisa berfungsi – Apakah hal-hal ini bukan badai?
Tentu ini badai kalau kita terus
berpikir bahwa kita harus membentuk kesempurnaan karena kita tidak sempurna.
Tidak sahabatku… Kesadaran ini
sudah menjadi bentukNYA yang tersempurna. Kita hanya memperbaiki kesadaran yang
sempurna ini, agar kesadaran ini BELAJAR. Kita memperbaiki kesadaran ini karena
kita ingin kembali menjadi PELAJAR-PELAJAR semesta.
Detik ini maklumilah kalau sudah
menjadi wajar seorang pelajar selalu akan menerima kesulitan. Karena dalam kesulitan
akan ada pelajaran yang membuat seorang pelajar belajar.
Kesulitan adalah awalnya
kemudahan. Jadi janganlah menyusahkan diri. Janganlah membebani diri dengan bentuknya
kesempurnaan. Cukup bawalah secuil manis yang disebut syukur agar semuanya
baik-baik saja.
Akhir kata sahabatku… Dalam
perjalanan memperbaiki kesadaran ini, sudahkah dirimu mensyukur dirimu sebelum
menilainya tidak sadar atau kurang sadar?
Syukurilah dahulu – baru perbaiki
setelahnya. Perbaikan itu akan terus terlewati dengan manis, bagaimanapun
sulitnya, karena kita melewatinya bersamaNYA.
Rasa syukur itu seperti serabut
tipis dengan ikatan yang halus. Bisa dirasakan bukan karena kita mau merasakan manisnya.
Tapi karena kita sudah ikhlas menerimaNYA.
Rahasia sudah terbongkar, tapi
ternyata rahasia ini menyisakan satu PR pelajaran yang lebih besar, yaitu
bagaimana itu menerimaNYA?
Kalau kita berkata kita sudah
menerimaNYA, lalu kenapa bahkan secuil syukur pun masih terhapus dari
keharusnya.
Berhati-hatilah, jangan sampai
ego ini menghapus keharusan yang manis.
Salam Semesta